Welcome to my blog :)

rss

Selasa, 13 Maret 2012

Bahaya Memendam Emosi

Memendam emosi atau perasaan tidak hanya berdampak pada gangguan psikis tetapi juga dapat berdampak langsung pada gangguan kesehatan tubuh. Ada beberapa penyakit yang terjadi jika Anda sering memendam emosi.

“Emosi dan perasaan trauma yang tidak ditangani dengan baik, lama-lama dapat menumpuk pada bagian tubuh dan berpotensi menimbulkan penyakit. Ini karena orang yang emosinya kacau otomatis imun tubuhnya turun, napas berantakan, suhu tubuh naik, depresi atau terlihat lebih tua, juga emosi negatifnya lama-lama menumpuk di bagian-bagian tubuh lain,” ujar Irma Rahayu, Soul Healer dari Emotional Healing Indonesia (EHI) dalam acara Emotional Healing Group Therapy di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Kamis (8/12/2011).

Berikut beberapa penyakit yang berhubungan dengan emosi, yaitu:


1. Alergi, karena penyangkalan akan kekuatan dan kemampuan diri.

2. Radang sendi, karena perasaan tidak dicintai, ditolak dan perasaan dikorbankan.

3. Demam, karena perasaan marah yang tidak mampu diekpresikan.

4. Ginjal, karena kekecewaan, perasaan gagal, rasa malu yang ditekan.

5. Maag, karena takut, cemas, perasaan tidak puas pada diri sendiri.

6. Penyakit paru-paru, karena putus asa, kelelahan emosional, luka batin.

7. Sakit punggung, karena ketakutan akan uang, merasa terbebani.

8. Sakit pinggang, karena rasa tidak dicintai, butuh kasih sayang.

9. Jantung, karena rasa kesepian, merasa tidak berharga, takut gagal dan marah.

10. Kanker, karena kebencian terpendam atau makan hati yang menahun.

11. Diabetes, karena keras kepala, tidak mau disalahkan.

12. Glaukoma, karena tekanan dari masa lalu dan tidak mampu memaafkan.

13. Jerawat, karena tidak menerima diri sendiri, tidak suka pada diri sendiri.

14. Pegal-pegal, karena ingin dicintai dan disayangi, butuh dipeluk dan kebersamaan.

15. Obesitas, karena takut, ingin dilindungi, kemarahan terpendam, tidak mau memaafkan.

16. Mata minus, karena takut akan masa depan.

17. Mata plus, karena tidak mampu memaafkan masa lalu.

“Orang yang emosinya tenang, apapun yang dilihatnya lebih jelas. Bila Anda punya masalah lalu dibawa ibadah, mau sujud beribu-ribu kali kalau emosi Anda belum tenang akan percuma,” lanjut Irma.

Menurut Irma yang sudah menangani lebih dari 5.000 klien yang bermasalah dengan emosi, cara terbaik untuk merespons emosi khususnya emosi marah adalah dengan mengeluarkannya dengan cara yang baik dan santun atau bicara baik-baik dengan orang yang membuat kita kesal.

“Misal Anda kesal dengan orang A, maka Anda harus menyampaikan pada orang itu bahwa Anda tidak suka dengan tindakan dia, tapi dengan cara yang halus, santun dan bukan marah-marah. Jangan melemparkan emosi kesal Anda pada orang lain, karena itu tidak menyelesaikan masalah. Jika sekiranya Anda tidak mungkin menyampaikannya, misal dia adalah bos atau orang yang punya jabatan tinggi, maka lakukan sending love. Tetap bersikap baik pada dia sambil mendoakan dia hal-hal yang baik, semoga dia berubah dan berkah, atau berdoa untuk diri sendiri semoga mendapatkan hal-hal baik. Jangan Anda malah mendoakan yang jelek-jelek karena itu akan jadi emosi yang negatif untuk diri Anda sendiri,” tutup Irma.

Peran Orang Tua Dalam Memilih Jurusan Kuliah

Tiga Pertimbangan Umum
Dalam waktu yang tidak lama lagi, putra-putri kita yang kemarin mengikuti UAN SLTA, akan memasuki jenjang kuliah. Biasanya, tidak sedikit yang bingung "Jurusan apa yang pas untuk saya ?". Orangtua pun tak kalah bingungnya, "Jurusan apa yang pas untuk anak saya?". Ini karena antara orangtua dan anak terkadang punya opini yang berbeda dalam melihat jurusan dan prospeknya di dunia kerja. Jadi bagaimana?

Secara umum, dukungan atau bantuan orangtua itu mutlak dibutuhkan. Cuma, sejauhmanakah bantuan itu dibutuhkan, akan sangat mungkin berbeda-beda. Seperti yang dialami oleh Pak Roni dari Banyuwangi. Anak pertamanya yang perempuan sejak lulus SLTA sudah mandiri dan sudah tahu jurusan yang pas untuk dia. Tapi anak keduanya yang laki-laki setiap kali ditanya tentang hal ini, tak ada jawaban yang meyakinkan, sepertinya dia tidak tahu harus kemana.

Kalau mau pakai acuan yang ideal, mestinya anak-anak itu memilih jurusan kuliah berdasarkan tiga pertimbangan di bawah ini:

Cita-cita: panggilan hati, hasrat sejatinya untuk berperan di bidang tertentu, dst
Bakat / Minat: kelebihan alamiah yang dimiliki, baik secara akademik atau non-akademik
Panggilan tanggungjawab: ingin meneruskan perjuangan orangtua, ingin membantu masyarakat tertentu, seperti ingin membantu petani, orang cacat, dst

Meski nampak sederhana, tapi dalam prakteknya tidak semua anak punya pengetahuan yang meyakinkan tentang ketiga hal di atas. Belum tentu anak kita tahu dimana bakat dan minatnya. Belum tentu cita-citanya itu relevan dengan keadaan dirinya dan orangtuanya. Karena itu, bantuan dan dukungan orangtua menjadi penting, entah untuk mengungkap yang belum diketahui atau untuk menegaskan yang sudah ada.


Penilaian Individual
Dasar yang mestinya kita pakai untuk menentukan dukungan adalah keadaan si anak. Anak seperti Riana Helmi, putri Indonesia yang lulus dari fakultas kedokteran UGM dengan usia 17 tahun, mungkin agak kurang pas kalau terlalu di dikte. Bisa-bisa malah melawan atau malah pasif. Untuk mengetahui keadaan anak, kita bisa memakai penilaian individual yang berbasiskan empat pertimbangan di bawah ini:

Jika dia termasuk anak yang pede (percaya diri) dan tahu diri: tahu kelebihannya, tahu cita-citanya, dan tahu kemana dia akan melangkah secara akurat atau berdasarkan bukti-bukti faktual selama ini, maka peranan kita adalah bertanya dan mendukung dari belakang.

Jika dia termasuk anak yang sebenarnya memiliki kelebihan dan cita-cita yang jelas, namun tidak pede atau setengah pede, maka peranan kita adalah membantu untuk menegaskan pilihannya berdasarkan bukti dan penjelasan, entah dari belakang, dari tengah, atau dari depan.

Jika dia termasuk anak yang blank dan sangat menunggu bantuan kita, maka peranan yang pas adalah pendampingan. Kita perlu mengajak dia mendiskusikan banyak hal tentang minat-bakatnya atau cita-citanya. Bahkan kalau perlu sama-sama mencari informasi mengenai fakultas yang pas dari berbagai sumber.

Jika dia termasuk anak yang tidak tahu, tidak mau tahu, dan tidak bergairah dikasih tahu, atau lebih mementingkan ego-nya ketimbang kemaslahatannya, mungkin tidak cukup hanya berbicara soal jurusan. Bisa-bisa butuh penyadaran lebih dulu baru pengarahan. Jika dengan ayahnya diam, bisa ibunya yang maju. Bila tidak mempan dua-duanya, bisa minta bantu orang lain yang dianggap berwibawa, seperti guru, senior, saudara, dst.

Terlepas apapun keadaan anak kita, hendaknya kita tetap mengingat kebutuhan umum perkembangan para remaja. Satu sisi, mereka memang tidak ingin terlalu di dikte seperti kita memperlakukan anak-anak karena mereka ingin menunjukkan siapa dirinya. Tapi di sisi lain, moral dan mental reasoning-nya masih belum sekuat orang yang sudah dewasa. Jadi bisa dibilang, jangan terlalu percaya atau jangan terlalu meragukan.


Penilaian Sosial
Selain bisa melihat dari sisi individualnya, bisa juga kita melihat keadaan anak kita dari sisi sosialnya. Remaja / anak muda itu berbeda dengan orangtuanya. Remaja lebih mengelompok, sementara orangtua lebih individual. Kata Aristotle, yang dominan mengisi pikiran orangtua adalah keluarga dan tempat kerja. Dari kelompok yang dipilihnya itu, kita bisa membuat penilaian sebagai bantuan untuk menentukan dukungan.

Berdasarkan praktek hidup dan hasil laporan studi, misalnya yang ditulis oleh Judith Rich Harris (The Chlid: 1991), kita bisa mengindentifikasi termasuk kelompok remaja yang manakah anak kita itu. Secara umum, remaja dapat dibedakan kelompoknya sebagai berikut:

Kelompok idola: hebat di lapangan atau di pangung, berwibawa dan ganteng atau cantik (the idol crowd)
Kelompok populer: terkenal di mana-mana atau aktif dimana-mana dan terdepan di mana-mana (the populer crowd)
Kelompok pintar: bintang kelas, intelek, elit, eksklusif, dan menerima perhatian khusus dari sekolah (the brain crowd)
Kelompok bengal dan nakal (the lawbreaker crowd)
Kelompok normal atau biasa-biasa (the normal crowd)
Kelompok yang merasa bukan siapa-siapa dan tidak dipandang siapa-siapa (the nobody crowd)

Melihat sisi sosial anak-anak kita terkadang menjadi penting. Penilaian sosial malah seringkali menjadi tujuan bersikap anak-anak / remaja. Yang perlu di perhatikan, jangan sampai anak-anak hanya melihat pilihan yang dianggap baik / keren / mendapat nilai plus dari lingkungan sosial. Oleh karenanya, orang tua sebaiknya mengajak anak melihat pilihan-pilihan lain. Dunia tidak seluas daun kelor. Orang tua bisa bisa membantu anak mengenali minat /bakat/ kelebihannya, untuk menentukan pilihan studi. Bahkan, kesempatan itu bisa juga digunakan untuk menegaskan agenda perubahan, tentu, ke arah yang lebih baik.

Seperti kita alami dulu, pengaruh faktor eksternal masih sangat dominan membentuk perilaku remaja, kecuali bagi yang sudah dibiasakan dari kecil dengan disiplin. Berbagai riset membuktikan, anak yang telah dilatih dengan disiplin secara baik, ternyata memiliki self-esteem yang lebih bagus sehingga dia tidak mudah terpengaruh. Artinya, sejauh kita masih melihat tanda-tanda kerentanan terhadap faktor eksternal yang tidak mendukung, antisipasinya adalah membantu mereka menemukan lingkungan yang mendukung. Kalau tidak, saran Bernard Shaw, ya kita yang harus menciptakannya.

Sudah banyak kasus yang mengungkap perubahan perilaku remaja dari positif ke negatif atau sebaliknya karena pengaruh orang lain dan keadaan (lingkungan). So, dari pengalaman sejumlah orang, setiap orangtua punya peranan penting dalam mengajarkan anak mentransformasikan pengalaman pahit, misalnya putus cinta, bentrok dengan teman, atau gagal, menjadi pelajaran positif.

"Setiap orangtua punya peranan penting dalam mengajarkan anak mentransformasikan pengalaman pahit agar arah perubahannya positif."


Bantuan Menemukan Minat & Bakat
Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, setiap orang itu PASTI memiliki bakat, dalam arti berbagai kelebihan personal yang menjadi karakteristik pembeda antara dirinya dan orang lain. Bahwa ada bakat yang disebut bakat normal (success people) dan bakat istimewa (extraordinary people), itu soal lain. Tuhan punya hak veto untuk membedakan manusia dan menyamakannya.

Anak dengan bakat istimewa (giftedness, genius, laduni, dan berbagai istilah lain), umumnya telah memiliki pembimbing di dalam dirinya, yang oleh Jhon Dewey, pakar pendidikan terkenal, disebutnya dengan istilah "internal instructor", panggilan batin yang terus membimbingnya sehingga mereka punya cara belajar, format psikologis, atau prilaku yang lebih unik.

Terus terang, jumlah anak dengan bakat istimewa ini tidak banyak dibanding dengan jumlah populasi penduduk dalam suatu negeri. Sebagian besar manusia memiliki bakat normal atau berbagai kelebihan yang kalau ditemu-kenali dan diasah akan mengantarkannya pada pencapaian prestasi tertentu (success people). Hanya saja, bagi sebagian remaja, menemu-kenali bakatnya sendiri bukan soal mudah.

Itulah kenapa keterlibatan kita menjadi penting. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka menemu-kenali bakat dan minatnya itu? Di bawah ini ada sejumlah petunjuk yang bisa kita pilih sebagiannya:

Melihat hasil tes bakat yang dilakukan oleh lembaga profesional di sekolahnya atau lembaga yang kita tunjuk
Menyimak penilaian, komentar, atau opini orang lain yang terpercaya tentang kelebihannya, katakanlah wali kelasnya, guru privatnya, dll.
Melihatnya dari garis keturunan atau faktor jenetik keluarga
Melihat dari karakteristik individual yang paling mudah muncul ketika si anak berinteraksi dengan orang lain, misalnya cenderung menjad pemimpin, suka menjadi tempat curhat, tempat bertanya pelajaran, dll.
Melihat kegiatan tertentu yang membuat dia tertarik untuk melakukannya secara alami, misalnya menulis, mengajar, dst.
Melihat kegiatan tertentu yang membuat dia cepat mempelajari dan menguasainya
Melihat kegiatan yang langkah-langkahnya muncul secara otomatis dari dalam dirinya, misalnya begitu diajari satu, dia sudah tahu sendiri yang kesepeluh
Melihat kegiatan yang secara tidak disadari dapat dia lakukan dengan baik
Melihat kegiatan yang membuat dia puas bila melakukannya, merasa tidak ada beban, dan senang melakukannya
Melihat hobi, klub, atau lingkungan yang ingin dia masuki
Melihat nilai akademiknya, baik formal atau informal
Melihat kemampuan tehnis tertentu yang bisa dikuasinya dengan cepat dan bagus.

Itu semua adalah sifatnya adalah alat bantu. Seperti kita tahu, jikalau alat bantu itu berhasil kita gunakan dalam mengungkap bakat dan minatnya, bakat sendiri bukan satu-satunya faktor sukses (berprestasi). Sudah banyak anak yang menemukan bakatnya, namun tak bisa digunakan untuk berprestasi, baik di tempat kerja atau di sekolah.

Kalau melihat ke prinsip-prinsip dasarnya, setelah bakat itu ditemukan, manusia membutuhkan petunjuk yang disebut cita-cita atau tujuan hidup. Butuh juga motivasi yang kuat untuk mengasah bakat dan untuk memperjuangkan cita-citanya. Butuh juga relasi atau koneksi yang membimbing atau memberi dukungan. Butuh juga kompetensi atau kemampuan menggunakan pengetahuan, pengalaman dan keahlian dalam sebuah tugas. Butuh juga nilai-nilai yang memperkokoh jiwanya dan lakunya.

VISI-MOTIVASI-KOMPETENSI-RELASI-NILAI


Berhati-hati Membaca Nilai Akademik
Berpatokan pada nilai akademik itu bisa menyesatkan dan bisa pula mencerahkan, tergantung bagaimana kita membacanya. Misalnya anak kita mendapatkan nilai bahasa sangat bagus. Atas dasar itu, kita kemudian membuat judgment bahwa bakat anak kita itu di bahasa.

Akan mencerahkan kalau itu kita baca bahwa bakat anak kita yang sudah terungkap adalah bahasa, sementara yang lain-lain masih belum. Ini akan menghasilkan penilaian yang mendorong, membuka, dan memberdayakan. Siapa tahu dia punya bakat dan minat yang lebih dari itu? Tapi bila itu kita baca secara hitam-putih, biasanya penilaian yang muncul akan sangat cenderung membatasi.

Atau misalnya lagi kita melihat sebagian besar nilai akademik anak kita jeblok, dan bahkan kita sering menerima surat dari sekolah untuk membicarakan nilai anak kita. Atas dasar itu, kita membuat penghakiman bahwa anak kita sama sekali tidak memiliki kelebihan apa-apa. Padahal, penghakiman demikian sangat bertentangan dengan prinsip memanusiakan manusia dan menumbuhkan pribadi yang dewasa.

Menjadi Pendidik Yang Mencerahkan

Mengetahui definsi pendidikan mungkin cukup kita ketahui sekali atau sekali-sekali. Tetapi, menyadari peranan kita sebagai pendidik, butuh kita perbarui setiap kali. Sebab, jika tidak, segera posisi kita bergeser, dari pencipta dalam proses pendidikan menjadi sekedar alat. Ini karena jiwa kita akan sulit mengembangkan proses-proses kreatif atau reflektif dengan hanya mengetahui saja, menjalani saja, atau mengetahui dan menjalani saja. Jiwa kita butuh digunakan untuk menyadari. Kesadaranlah yang mengubah tindakan. Mirip seperti ibadah, katakanlah sholat atau puasa. Mestinya, setiap kali mau melakukannya, butuh kesadaran baru. Sebab kalau tidak, jiwa dan raga kita hanya akan menjadi buruh kewajiban, bukan menjadi kreator proses pencerahan. Karena itu, orang shalat pun masih dibilang celaka bila jiwanya alpa.

Dua Kesadaran Dalam Mendidik
Bila melihat berbagai penjelasan tentang pendidikan, ada sedikitnya dua kesadaran yang perlu kita ciptakan setiap kali mau pergi mengajar. Pertama, kita perlu menyadari pendidik itu mengeluarkan apa yang dari dalam. Ini sesuai dengan arti education sendiri, yaitu e = keluar (out) dan ducare = mengarahkan atau membimbing.

Pada diri setiap siswa itu pasti ada potensi yang tersembunyi. Ibarat tambang emas, emasnya sendiri pasti tertimbun tanah, bebatuan dan pepohonan. Untuk mengeluarkan emas, para penambang punya tradisi membersihkan jalan atau lingkaran tambang lebih dulu, baru kemudian menambang.

Kedua, pendidikan itu menyalakan cahaya. Ibarat energi dalam listrik, energi itu tidak mungkin menghasilkan cahaya dengan hanya dirinya. Untuk menjadi cahaya, perlu ada pembangkit yang mengolah energi dengan menciptakan gesekan, seperti korek api.

Dua kesadaran itulah yang kerapkali menjadi pegangan para tokoh pendidikan yang hasilnya sudah teruji oleh kenyataan. Bagi mereka, ukuran lembaga pendidikan itu bukan wah iklannya, wah administrasinya atau wah kiprahnya di pamerah. Ukurannya adalah, alumninya pada jadi apa di masyarakat?

Kalau alumninya banyak yang bisa mengeluarkan potensi di dalam dirinya dan bisa mengeluarkan cahaya bagi orang lain, berarti lembaga pendidikan atau para pendidiknya di situ OK. Pendidikan di situ berhasil mengejewentahkan esensi pendidikan. Tapi kalau ukurannya baru berapa yang masuk PT negeri, studi ke luar negeri, ranking UAN, dan semisalnya, standarnya dianggap masih rendah. Pengujinya masih berstandarkan tulisan, belum kenyataan. Lebih-lebih kalau menirukan keluhan wong cilik yang sering kita dengar: “Lha wong yang gitu-gitu banyak yang bisa dibayar kok, ngapaian dijadikan kebanggaan?”

Jangan Menjadi Birokrat Kurikulum
Tanpa pembaruan kesadaran, bisa-bisa praktek kita malah membebani siswa, bukan mencerahkan mereka. Mungkin, karena semakin banyak jumlah pendidik yang prakteknya membebani siswanya, di kalangan pendidik sendiri muncul istilah Birokrat Kurikulum sebagai kritik.

Birokrat Kurikulum (BK) adalah sindirian untuk menyebut pendidik yang cara berpikirnya menganut paham “Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?”, mirip seperti budaya birokrasi kita zaman dulu—ruwetnya minta ampun tetapi ringkihnya juga minta ampun. BK lebih kerap tampil sebagai sosok yang otaknya ruwet oleh prosedur, metode, dan teknik, sementara visinya, keyakinanya, dan spiritnya miris. BK tidak mau meniru tradisi para penambang yang mendapatkan cara-cara menambang dari alam dengan membersihkan lebih dahulu.

Sebagian pendidik kerap melakukan pengeboran paksa untuk bisa memasukkan materi kurikulum, tanpa berupa membersihkan areal tambang. Padahal, banyak fakta mengungkap bahwa pendidikan di dunia yang lebih banyak berhasil adalah yang menomersatukan pembersihan konsep diri yang kurang atau yang salah, sebelum kurikulum atau buku paket. BK juga kerap menggunakan senjata indoktrinasi sebagai senjata kesayangan, dengan mengingkari fakta kemanusiaan para murid. Mereka dipaksa harus menjadi manusia berinsting malaikat (positifnya) dengan disuruh membuang kejelekannya.

Padahal, hukum cahaya mengatakan bahwa cahaya itu baru keluar setelah ada gesekan plus dan minus dengan cara yang terdidik. Indoktrinasi mempersempit ruang untuk learning, eksperimentasi, dan eksplorasi. Akibatnya apa? Seperti yang sering kita saksikan, pendidikan lebih sering melahirkan orang yang berwacana tentang kenyataan atau melakukan judgment terhadap kenyataan, tetapi kurang mengeluarkan cahaya. Pendidikan lebih pinter menghasilkan para petarung perdebatan ketimbang penggagas dialog, sinergi, dan kebersamaan.

Itulah kenapa pada dinamika lain ada fakta yang membuktikan bahwa orang-orang yang telah berhasil mengeluarkan cahayanya itu justru diawali dengan keberaniannya menerobos, menentang, atau menafsirkan lain SOP pendidikan melalui berbagai gesekan, internally and externally.

Arah Konsentrasi Guru
Berdasarkan praktek yang sudah kita jalankan sebagai pendidik, sebetulanya ada alat sederhana untuk mengaudit seberapa jauh kita sanggup memerankan fungsi pendidik yang searah dengan esensi pendidikan. Alat sederhana itu kita sebut saja arah konsentrasi. Kemana konsentrasi itu kita arahkan selama ini, akan bisa kita jadikan ukuran apakah selama ini kita hanya pendidik BK atau pendidik yang mendidik. Secara umum, konsentrasi pendidik dapat dikelompokkan seperti berikut ini:
Pertama, ada guru yang sebagian besar konsentrasinya mengarah pada pengembangan dan kepentingan murid atau lembaga pendidikan. Mereka mengembangkan dirinya untuk bisa mengembangkan siswanya. Mereka mendefinisikan muridnya sebagai calon aset pembangunan yang luar biasa, bukan sebagai sebagai pengguna jasa.

Menurut sunnatullahnya, guru seperti inilah yang kerap menghasilkan output yang bagus. Guru seperti ini yang biasanya mampu menghasilkan murid-murid yang jauh lebih pintar dari dirinya. Guru seperti inilah yang murid-muridnya tetap tidak mampu merasa lebih unggul dari gurunya, walau pun sudah sekolah kemana-mana.

Kedua, ada guru yang sebagian konsentrasinya mengarah pada kepentingan dirinya, pangkatnya, kariernya, politiknya, dan seterusnya. Banyak kampus atau sekolah yang murid-muridnya ditinggal oleh dosennya ke kota untuk mengejar beasiswa atau gelar akademik yang lebih tinggi supaya nanti bisa naik pangkat.

Sejauh itu diatur oleh sistem dan komitmen untuk mengembangkan lembaga dan siswa dalam jangka panjangnya, itu sangat bagus. Tapi, kalau hanya untuk kepentingan karier pribadi semata, atau hanya untuk pindah ke tempat yang lebih enak, hubungan kita dengan siswa menjadi hubungan manipulatif.

Ketiga, ada guru yang mengarahkan sebagian besar konsentrasinya untuk mengurusi pekerjaan sebagai pengajar. Meminjam ungkapannya Edison, guru seperti ini tenggelam dalam kesibukan jabatan, tetapi tidak menyadari apa tujuan dari kesibukannya. Yang penting mengajar, absen beres, honor beres, dan selesai. Jika kita terlalu sibuk mengurusi hal-hal teknis, tanpa didukung dengan visi dan imajinasi, serta keyakinan, kita akan sulit berkembang dari kenyataan. Kenyataan akan mengubur kita, mirip seperti truk yang berjalan di atas tanah berlumpur. Langkah kita terpendam oleh lumpur kenyataan.

Keempat, ada guru yang mengarahkan sebagian besar konsentrasinya untuk bisa selamat dari tuntutan sistem yang makin mengikat. Biasanya, ini terjadi di sekolah yang berbiaya tinggi. Tuntutan kepada guru tidak saja datang dari kepala sekolah, tapi juga dari yayasan, wali murid, kepsek, murid, media, dan lain-lain. Bagi guru yang kurang waspada (alert), konsentrasinya bisa salah arah. Konsentrasi yang untuk pengembangan murid, supaya potensinya keluar atau supaya cahayanya keluar, menjadi berkurang. Konsentrasinya terkuras untuk kepentingan orang dewasa yang menjadi stakeholder dan shareholder sekolah.

Semua guru memang harus memikirkan muridnya, dirinya, keluarganya, politiknya, pekerjaannya, atau lembaganya. Tetapi yang kemudian membedakan adalah kesadaran manakah yang paling mendominan. Sejauh bukan didominasi oleh kesadaran untuk meng-educate murid, sepertinya kita telah memilih jalan yang salah. Sebelum kesalahannya jauh, mari kita putar arah.

Merealisasikan Kesadaran
Untuk bisa menjadi pendidik yang mencerahkan, pastinya tidak cukup hanya berhenti di kesadaran. Harus kita lanjutkan pada terbentuknya paradigma dan pendekatan yang lebih mencerahkan terhadap berbagai isu-isu pendidikan yang sehari-hari kita hadapi.

BOX
BERBAGAI ISU YANG BUTUH PARADIGMA
DAN PENDEKATAN BARU YANG MENCERAHKAN DALAM PENDIDIKAN

ISU
PARADIGMA
PENDEKATAN
Sosok Guru
Bukan lagi menjadi sosok yang sangat berwibawa sehingga sulit disentuh, tetapi menjadi partner bagi murid untuk mengungkap potensi dan mengeluarkan cahaya
Terkadang di depan, di belakang, di tengah, bersama, atau juga mengakui perbedaan secara sehat, termasuk ketika berkonfrontasi.
Aktivitas Di Kelas
Bukan lagi menempatkan siswa secara pasif (kerancang kosong), tetapi murid yang sama-sama aktif dalam menggali dan menguasi materi, dengan berbagai konteks-nya
Menggunakan otoritas guru untuk mendorong siswa memanfaatkan kemajuan zaman, saling bertukar kelEbihan, gentle mengakui kekurangan dan keterbatasan
Pandangan terhadap dunia dan lingkungan

Bukan lagi melihat dunia dengan judgment hitam-putih, dengan menonjolkan egonya, tetapi lebih ke arah bagaimana menyikapi kenyataan dengan pola-pola yang mendukung keharmonisan, kemajuan, dan kemaslahatan banyak orang
Menjadi diri sendiri, namun tetap demokratis, terbuka, dan universal, bukan semata tukang mengkhotbahkan demokrasi, keterbukaan, dan keuniversalan, lebih-lebih menjadi dewa agung.
Visi pendidikan

Targetnya bukan semata memaksa murid mendapatkan nilai 10, masuk sekolah internasional, dan semisalnya, tetapi menginspirasi murid untuk membangun imajinasi peranannya di masyarakat melalui motivasi dan nilai
Bukan semata menyuruh murid untuk meniru dirinya, tetapi mengajak murid untuk menuju ke yang lebih baik bersama-sama, kalau perlu mendorong murid untuk lebih besar dari dirinya
Kemampuan Murid
Bukan semata mengikuti pandangan diknas atau masyarakat mengenai anak pintar-bodoh, tetapi melihat semua anak memiliki kemampuan di hal yang berbeda. Standar diknas bukan standar tunggal
Ikut terlibat dalam menggali potensi / kelebihan yang berbeda untuk anak yang berbeda.
Kesalahan Murid
Bukan lagi disikapi untuk dilarang, dihukum, diberi nilai merah, atau dianggap pendosa, lalu titik, tetapi disikapi sebagai proses belajar, termasuk ketika harus di-DO.
Membantu murid menemukan evaluative action melalui proses belajarnya, yang pasti ada salahnya, nyimpangnya, atau melanggarnya sehingga bisa mengeluarkan cahaya
Budaya Belajar
Bukan lagi menciptakan persaingan individual yang saling mengalahkan, diskriminasi anak pintar-bodoh, tetapi persaingan yang memotivasi kompetensi dan prestasi
Memberikan kesempatan yang adil bagi semua murid untuk mengaktualisasikan dirinya, tidak hanya menyayangi anak pintar dan menjauhi mereka yang bodoh versi diknas.
Hubungan
Hubungan dengan siswa, sekolah, dan wali murid bukan semata hubungan industrial, birokratik, atau politis-manipulatis, tetapi hubungan yang saling tolong-menolong dan mengembangkan, berpikir untuk memberi (giving).
Tidak datang hanya untuk mengajar lalu pergi, tetapi sering berdialog, mengajak membangun keakraban profesional yang mendukung kemajuan dan saling mendoakan
Pengembangan
Tidak lagi membatasi diri dengan fakultas di masa kuliah, tanggung jawab yang minimalis, profesional yang sempit, career path yang stagnan, tetapi fokus pada tujuan perjuangan / pengabdian, tanggap terhadap masalah yang relevan, lalu dinamis meresponi perubahan
Menempuh berbagai cara yang sehat untuk mengembangkan diri, dari berbagai aspek, sehingga kiprah bertambah dan nasibnya developing



Jangan Minta Digugu Dan Ditiru
Ketika murid-murid kita saat ini nanti menjadi dewasa, kita mungkin sudah tua atau meninggal dunia. Bayangkan jika misalnya kita meminta mereka untuk menggugu dan meniru kita, apa jadinya? Mereka mungkin menjadi orang yang terbelakang di zamannya karena referensinya kita yang sudah tua. So, jangan meminta digugu dan ditiru.

Ungkapan itu hanya perlu kita pahami sebagai motivasi pribadi untuk terus berusaha menjadi orang yang kredibel dan bisa dipercaya secara komitmen dan moral. Atau, kita terima sebagai penghargaan sosial yang perlu kita hargai. Selebihnya, hubungan kita dengan murid adalah hubungan yang membuka, mendorong, menyalakan, atau mengeluarkan (mencerahkan). Dan yang lebih penting lagi, kita memaafkan masyarakat, pemerintah, dan yayasan yang masih kalah dengan negera Thailand, Philipine, Malaysia, Vietnam, dan Brunei dalam menggaji guru. Sebab, jika tidak memaafkan, jiwa ini akan terbebani dan sangat mungkin kita menjadi pendidik yang membebani. Semoga bermanfaat.

Gaya Marah dan Dampaknya Pada Kesehatan

Bagaimana gaya marah Anda? Suka memendam emosi, meledak-ledak atau mengalihkan emosi ke hal lain? Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk merespons emosi tersebut. Dan ternyata, cara Anda merespons emosi bisa berdampak pada kesehatan tubuh.

Emosi adalah istilah yang digunakan untuk keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan dengan beragam perasaan, pikiran dan perilaku. Setiap manusia memiliki emosi, entah senang dan gembira, marah ataupun sedih. Tidak ada yang salah dengan emosi, masalahnya banyak orang yang sangat berlebihan memaknai dan merespons emosi tersebut.

Ada 3 cara yang biasanya dilakukan orang untuk merespons emosi, yaitu:


1. Menekan atau memendam emosi
Orang yang suka menekan emosi mungkin akan terlihat tenang, namun emosi yang selalu ditekan tersebut suatu saat akan meledak.

Pada dasarnya, orang dengan tipe ini juga akan mudah tersinggung, marah dan merasa tersakiti. Dan tanpa disadarinya, emosi yang terpendam akan tercermin pada sikap yang tidak menyenangkan, sering berkata kasar dan menyakitkan.

“Orang yang menekan emosi lebih banyak diam dan marahnya dipendam, tapi dia suka ngoceh dan suatu saat bisa ‘meledak’. Orang seperti ini jika lama-lama dibiarkan bisa mengalami gangguan jantung, tenggorokan dan kanker,” jelas Irma Rahayu, Soul Healer dari Emotional Healing Indonesia (EHI) dalam acara Emotional Healing Group Therapy di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Kamis (8/12/2011).

Dia juga menyebutkan bahwa kebanyakan orang yang menderita sakit yang tidak tersembuhkan disebabkan karena kemarahan dan kecemasan yang sering ditekan.

2. Melampiaskan emosi
Banyak yang menganggap bahwa orang yang bisa melampiaskan emosi bisa lebih sehat ketimbang yang suka memendamnya. Namun emosi yang dilampiaskan secara berlebihan efeknya hanya sesaat. Emosi yang dikeluarkan dengan spontan marah atau ngamuk masih akan tersimpan dan tidak hilang begitu saja.

“Orang yang melampiaskan emosi dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Akibatnya, orang seperti ini sering mengalami gangguan metabolisme dan gangguan fisik,” ujar Muhammad Gunawan, co fasilitator EHI.

3. Mengalihkan emosi pada hal lain
Orang tipe ini biasanya akan mengalihkan emosi dan stres pada hal-hal lain yang dianggap bisa melupakan masalahnya, seperti berbelanja barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, makan berlebihan, merokok, tidur, kerja berlebihan atau bahkan becanda sepanjang hari.

“Orang yang merokok itu pasti stres dan sebenarnya dia tahu bahwa rokok itu tidak sehat tapi masih menghisapnya,” ujar Gunawan.

Meski bisa melupakan emosi negatif yang tidak menyenangkan, namun Irma menuturkan bahwa mengalihkan emosi bukanlah yang baik untuk mengatasi masalah.

“Ini sama saja Anda sedang memetik daun teh dan menaruh di keranjang belakang punggung. Anda lupa, tapi lama-lama akan semakin berat. Jangan pernah melupakan masalah karena itu artinya Anda tidak menyelesaikannya. Orang yang sering melupakan masalah bukan berarti tidak punya masalah, tapi masalahnya akan menumpuk dan tiba-tiba ‘ambruk’,” ujar Irma.

Cara terbaik merespons emosi

Menurut Irma yang sudah menangani lebih dari 5.000 klien yang bermasalah dengan emosi, cara terbaik untuk merespons emosi khususnya emosi marah adalah dengan mengeluarkannya dengan cara yang baik dan santun atau bicara baik-baik dengan orang yang membuat kita kesal.

“Misal Anda kesal dengan orang A, maka Anda harus menyampaikan pada orang itu bahwa Anda tidak suka dengan tindakan dia, tapi dengan cara yang halus, santun dan bukan marah-marah. Jangan melemparkan emosi kesal Anda pada orang lain, karena itu tidak menyelesaikan masalah. Jika sekiranya Anda tidak mungkin menyampaikannya, misal dia adalah bos atau orang yang punya jabatan tinggi, maka lakukan sending love. Tetap bersikap baik pada dia sambil mendoakan dia hal-hal yang baik, semoga dia berubah dan berkah, atau berdoa untuk diri sendiri semoga mendapatkan hal-hal baik. Jangan Anda malah mendoakan yang jelek-jelek karena itu akan jadi emosi yang negatif untuk diri Anda sendiri,” tutup Irma.

Fenomena Seks Remaja: Bicarakan Seks Sesama Teman

Para remaja di Indonesia menjadikan teman pergaulan sebagai sumber utama dalam mencari informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi. Teman pergaulan mengalahkan peran orang tua bahkan film porno sekalipun.

Survei menunjukkan, sebanyak 51 persen remaja berusia 15-25 tahun lebih memilih bertanya kepada teman mengenai seks. Bukan hanya itu, 75 persen dari 663 responden di 5 kota besar di Indonesia, mengatakan orangtua mereka tidak mengetahui aktivitas seksual yang mereka lakukan. Hanya 26 persen remaja yang mengaku mereka bersikap terbuka pada orangtuanya.

Demikian menurut hasil riset yang dilakukan DKT Indonesia, organisasi internasional yang berfokus pada pencegahan HIV/AIDS dan kontrasepsi. Survei dilakukan pada bulan Mei 2011 di Jakarta dan sekitarnya, Bali, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.


Menanggapi hasil survei ini, Zoya Amirin, sexual psychologist mengatakan kebanyakan remaja memang malu berdiskusi dengan orangtua mereka mengenai masalah seksual.

“Mereka takut kalau bertanya karena pasti dituduh sudah pernah melakukan atau ingin melakukan hubungan seks,” papar staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini di sela-sela pemaparan hasil survei seks di Jakarta (5/12/2011).

Padahal, menurut Zoya, di usia 15-19 tahun remaja perlu mengetahui pendidikan seksual. “Anak-anak ini harus tahu mengapa mereka merasakan dorongan seksual yang kuat. Di usia ini tanda-tanda seks sekunder juga sudah tampak,” katanya.

Zoya menegaskan, para orangtua sebaiknya membimbing anak-anaknya memahami bahwa seksualitas adalah hal yang normal. “Jangan takut-takuti anak, jelaskan yang nyata dan sebenarnya,” paparnya.

Ia mengungkapkan pelajaran biologi yang didapat anak di sekolah tidak bisa dijadikan andalan pendidikan seksual.

“Dalam mata pelajaran ini hanya diajarkan bagaimana pertemuan sel sperma dan sel telur. Padahal anak perlu informasi lebih dari itu. Orangtua juga wajib mengajari anak-anak mereka untuk berani berkata tidak jika memang tidak ingin berhubungan seks meski dibujuk pacar,” katanya.

Ketidakberdayaan remaja perempuan dalam menolak rayuan pasangannya tergambar dari survei yang menyatakan 6 persen responden merasa dipaksa untuk berhubungan seks.