Welcome to my blog :)

rss

Selasa, 13 Maret 2012

Bahaya Memendam Emosi

Memendam emosi atau perasaan tidak hanya berdampak pada gangguan psikis tetapi juga dapat berdampak langsung pada gangguan kesehatan tubuh. Ada beberapa penyakit yang terjadi jika Anda sering memendam emosi.

“Emosi dan perasaan trauma yang tidak ditangani dengan baik, lama-lama dapat menumpuk pada bagian tubuh dan berpotensi menimbulkan penyakit. Ini karena orang yang emosinya kacau otomatis imun tubuhnya turun, napas berantakan, suhu tubuh naik, depresi atau terlihat lebih tua, juga emosi negatifnya lama-lama menumpuk di bagian-bagian tubuh lain,” ujar Irma Rahayu, Soul Healer dari Emotional Healing Indonesia (EHI) dalam acara Emotional Healing Group Therapy di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Kamis (8/12/2011).

Berikut beberapa penyakit yang berhubungan dengan emosi, yaitu:


1. Alergi, karena penyangkalan akan kekuatan dan kemampuan diri.

2. Radang sendi, karena perasaan tidak dicintai, ditolak dan perasaan dikorbankan.

3. Demam, karena perasaan marah yang tidak mampu diekpresikan.

4. Ginjal, karena kekecewaan, perasaan gagal, rasa malu yang ditekan.

5. Maag, karena takut, cemas, perasaan tidak puas pada diri sendiri.

6. Penyakit paru-paru, karena putus asa, kelelahan emosional, luka batin.

7. Sakit punggung, karena ketakutan akan uang, merasa terbebani.

8. Sakit pinggang, karena rasa tidak dicintai, butuh kasih sayang.

9. Jantung, karena rasa kesepian, merasa tidak berharga, takut gagal dan marah.

10. Kanker, karena kebencian terpendam atau makan hati yang menahun.

11. Diabetes, karena keras kepala, tidak mau disalahkan.

12. Glaukoma, karena tekanan dari masa lalu dan tidak mampu memaafkan.

13. Jerawat, karena tidak menerima diri sendiri, tidak suka pada diri sendiri.

14. Pegal-pegal, karena ingin dicintai dan disayangi, butuh dipeluk dan kebersamaan.

15. Obesitas, karena takut, ingin dilindungi, kemarahan terpendam, tidak mau memaafkan.

16. Mata minus, karena takut akan masa depan.

17. Mata plus, karena tidak mampu memaafkan masa lalu.

“Orang yang emosinya tenang, apapun yang dilihatnya lebih jelas. Bila Anda punya masalah lalu dibawa ibadah, mau sujud beribu-ribu kali kalau emosi Anda belum tenang akan percuma,” lanjut Irma.

Menurut Irma yang sudah menangani lebih dari 5.000 klien yang bermasalah dengan emosi, cara terbaik untuk merespons emosi khususnya emosi marah adalah dengan mengeluarkannya dengan cara yang baik dan santun atau bicara baik-baik dengan orang yang membuat kita kesal.

“Misal Anda kesal dengan orang A, maka Anda harus menyampaikan pada orang itu bahwa Anda tidak suka dengan tindakan dia, tapi dengan cara yang halus, santun dan bukan marah-marah. Jangan melemparkan emosi kesal Anda pada orang lain, karena itu tidak menyelesaikan masalah. Jika sekiranya Anda tidak mungkin menyampaikannya, misal dia adalah bos atau orang yang punya jabatan tinggi, maka lakukan sending love. Tetap bersikap baik pada dia sambil mendoakan dia hal-hal yang baik, semoga dia berubah dan berkah, atau berdoa untuk diri sendiri semoga mendapatkan hal-hal baik. Jangan Anda malah mendoakan yang jelek-jelek karena itu akan jadi emosi yang negatif untuk diri Anda sendiri,” tutup Irma.

Peran Orang Tua Dalam Memilih Jurusan Kuliah

Tiga Pertimbangan Umum
Dalam waktu yang tidak lama lagi, putra-putri kita yang kemarin mengikuti UAN SLTA, akan memasuki jenjang kuliah. Biasanya, tidak sedikit yang bingung "Jurusan apa yang pas untuk saya ?". Orangtua pun tak kalah bingungnya, "Jurusan apa yang pas untuk anak saya?". Ini karena antara orangtua dan anak terkadang punya opini yang berbeda dalam melihat jurusan dan prospeknya di dunia kerja. Jadi bagaimana?

Secara umum, dukungan atau bantuan orangtua itu mutlak dibutuhkan. Cuma, sejauhmanakah bantuan itu dibutuhkan, akan sangat mungkin berbeda-beda. Seperti yang dialami oleh Pak Roni dari Banyuwangi. Anak pertamanya yang perempuan sejak lulus SLTA sudah mandiri dan sudah tahu jurusan yang pas untuk dia. Tapi anak keduanya yang laki-laki setiap kali ditanya tentang hal ini, tak ada jawaban yang meyakinkan, sepertinya dia tidak tahu harus kemana.

Kalau mau pakai acuan yang ideal, mestinya anak-anak itu memilih jurusan kuliah berdasarkan tiga pertimbangan di bawah ini:

Cita-cita: panggilan hati, hasrat sejatinya untuk berperan di bidang tertentu, dst
Bakat / Minat: kelebihan alamiah yang dimiliki, baik secara akademik atau non-akademik
Panggilan tanggungjawab: ingin meneruskan perjuangan orangtua, ingin membantu masyarakat tertentu, seperti ingin membantu petani, orang cacat, dst

Meski nampak sederhana, tapi dalam prakteknya tidak semua anak punya pengetahuan yang meyakinkan tentang ketiga hal di atas. Belum tentu anak kita tahu dimana bakat dan minatnya. Belum tentu cita-citanya itu relevan dengan keadaan dirinya dan orangtuanya. Karena itu, bantuan dan dukungan orangtua menjadi penting, entah untuk mengungkap yang belum diketahui atau untuk menegaskan yang sudah ada.


Penilaian Individual
Dasar yang mestinya kita pakai untuk menentukan dukungan adalah keadaan si anak. Anak seperti Riana Helmi, putri Indonesia yang lulus dari fakultas kedokteran UGM dengan usia 17 tahun, mungkin agak kurang pas kalau terlalu di dikte. Bisa-bisa malah melawan atau malah pasif. Untuk mengetahui keadaan anak, kita bisa memakai penilaian individual yang berbasiskan empat pertimbangan di bawah ini:

Jika dia termasuk anak yang pede (percaya diri) dan tahu diri: tahu kelebihannya, tahu cita-citanya, dan tahu kemana dia akan melangkah secara akurat atau berdasarkan bukti-bukti faktual selama ini, maka peranan kita adalah bertanya dan mendukung dari belakang.

Jika dia termasuk anak yang sebenarnya memiliki kelebihan dan cita-cita yang jelas, namun tidak pede atau setengah pede, maka peranan kita adalah membantu untuk menegaskan pilihannya berdasarkan bukti dan penjelasan, entah dari belakang, dari tengah, atau dari depan.

Jika dia termasuk anak yang blank dan sangat menunggu bantuan kita, maka peranan yang pas adalah pendampingan. Kita perlu mengajak dia mendiskusikan banyak hal tentang minat-bakatnya atau cita-citanya. Bahkan kalau perlu sama-sama mencari informasi mengenai fakultas yang pas dari berbagai sumber.

Jika dia termasuk anak yang tidak tahu, tidak mau tahu, dan tidak bergairah dikasih tahu, atau lebih mementingkan ego-nya ketimbang kemaslahatannya, mungkin tidak cukup hanya berbicara soal jurusan. Bisa-bisa butuh penyadaran lebih dulu baru pengarahan. Jika dengan ayahnya diam, bisa ibunya yang maju. Bila tidak mempan dua-duanya, bisa minta bantu orang lain yang dianggap berwibawa, seperti guru, senior, saudara, dst.

Terlepas apapun keadaan anak kita, hendaknya kita tetap mengingat kebutuhan umum perkembangan para remaja. Satu sisi, mereka memang tidak ingin terlalu di dikte seperti kita memperlakukan anak-anak karena mereka ingin menunjukkan siapa dirinya. Tapi di sisi lain, moral dan mental reasoning-nya masih belum sekuat orang yang sudah dewasa. Jadi bisa dibilang, jangan terlalu percaya atau jangan terlalu meragukan.


Penilaian Sosial
Selain bisa melihat dari sisi individualnya, bisa juga kita melihat keadaan anak kita dari sisi sosialnya. Remaja / anak muda itu berbeda dengan orangtuanya. Remaja lebih mengelompok, sementara orangtua lebih individual. Kata Aristotle, yang dominan mengisi pikiran orangtua adalah keluarga dan tempat kerja. Dari kelompok yang dipilihnya itu, kita bisa membuat penilaian sebagai bantuan untuk menentukan dukungan.

Berdasarkan praktek hidup dan hasil laporan studi, misalnya yang ditulis oleh Judith Rich Harris (The Chlid: 1991), kita bisa mengindentifikasi termasuk kelompok remaja yang manakah anak kita itu. Secara umum, remaja dapat dibedakan kelompoknya sebagai berikut:

Kelompok idola: hebat di lapangan atau di pangung, berwibawa dan ganteng atau cantik (the idol crowd)
Kelompok populer: terkenal di mana-mana atau aktif dimana-mana dan terdepan di mana-mana (the populer crowd)
Kelompok pintar: bintang kelas, intelek, elit, eksklusif, dan menerima perhatian khusus dari sekolah (the brain crowd)
Kelompok bengal dan nakal (the lawbreaker crowd)
Kelompok normal atau biasa-biasa (the normal crowd)
Kelompok yang merasa bukan siapa-siapa dan tidak dipandang siapa-siapa (the nobody crowd)

Melihat sisi sosial anak-anak kita terkadang menjadi penting. Penilaian sosial malah seringkali menjadi tujuan bersikap anak-anak / remaja. Yang perlu di perhatikan, jangan sampai anak-anak hanya melihat pilihan yang dianggap baik / keren / mendapat nilai plus dari lingkungan sosial. Oleh karenanya, orang tua sebaiknya mengajak anak melihat pilihan-pilihan lain. Dunia tidak seluas daun kelor. Orang tua bisa bisa membantu anak mengenali minat /bakat/ kelebihannya, untuk menentukan pilihan studi. Bahkan, kesempatan itu bisa juga digunakan untuk menegaskan agenda perubahan, tentu, ke arah yang lebih baik.

Seperti kita alami dulu, pengaruh faktor eksternal masih sangat dominan membentuk perilaku remaja, kecuali bagi yang sudah dibiasakan dari kecil dengan disiplin. Berbagai riset membuktikan, anak yang telah dilatih dengan disiplin secara baik, ternyata memiliki self-esteem yang lebih bagus sehingga dia tidak mudah terpengaruh. Artinya, sejauh kita masih melihat tanda-tanda kerentanan terhadap faktor eksternal yang tidak mendukung, antisipasinya adalah membantu mereka menemukan lingkungan yang mendukung. Kalau tidak, saran Bernard Shaw, ya kita yang harus menciptakannya.

Sudah banyak kasus yang mengungkap perubahan perilaku remaja dari positif ke negatif atau sebaliknya karena pengaruh orang lain dan keadaan (lingkungan). So, dari pengalaman sejumlah orang, setiap orangtua punya peranan penting dalam mengajarkan anak mentransformasikan pengalaman pahit, misalnya putus cinta, bentrok dengan teman, atau gagal, menjadi pelajaran positif.

"Setiap orangtua punya peranan penting dalam mengajarkan anak mentransformasikan pengalaman pahit agar arah perubahannya positif."


Bantuan Menemukan Minat & Bakat
Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, setiap orang itu PASTI memiliki bakat, dalam arti berbagai kelebihan personal yang menjadi karakteristik pembeda antara dirinya dan orang lain. Bahwa ada bakat yang disebut bakat normal (success people) dan bakat istimewa (extraordinary people), itu soal lain. Tuhan punya hak veto untuk membedakan manusia dan menyamakannya.

Anak dengan bakat istimewa (giftedness, genius, laduni, dan berbagai istilah lain), umumnya telah memiliki pembimbing di dalam dirinya, yang oleh Jhon Dewey, pakar pendidikan terkenal, disebutnya dengan istilah "internal instructor", panggilan batin yang terus membimbingnya sehingga mereka punya cara belajar, format psikologis, atau prilaku yang lebih unik.

Terus terang, jumlah anak dengan bakat istimewa ini tidak banyak dibanding dengan jumlah populasi penduduk dalam suatu negeri. Sebagian besar manusia memiliki bakat normal atau berbagai kelebihan yang kalau ditemu-kenali dan diasah akan mengantarkannya pada pencapaian prestasi tertentu (success people). Hanya saja, bagi sebagian remaja, menemu-kenali bakatnya sendiri bukan soal mudah.

Itulah kenapa keterlibatan kita menjadi penting. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka menemu-kenali bakat dan minatnya itu? Di bawah ini ada sejumlah petunjuk yang bisa kita pilih sebagiannya:

Melihat hasil tes bakat yang dilakukan oleh lembaga profesional di sekolahnya atau lembaga yang kita tunjuk
Menyimak penilaian, komentar, atau opini orang lain yang terpercaya tentang kelebihannya, katakanlah wali kelasnya, guru privatnya, dll.
Melihatnya dari garis keturunan atau faktor jenetik keluarga
Melihat dari karakteristik individual yang paling mudah muncul ketika si anak berinteraksi dengan orang lain, misalnya cenderung menjad pemimpin, suka menjadi tempat curhat, tempat bertanya pelajaran, dll.
Melihat kegiatan tertentu yang membuat dia tertarik untuk melakukannya secara alami, misalnya menulis, mengajar, dst.
Melihat kegiatan tertentu yang membuat dia cepat mempelajari dan menguasainya
Melihat kegiatan yang langkah-langkahnya muncul secara otomatis dari dalam dirinya, misalnya begitu diajari satu, dia sudah tahu sendiri yang kesepeluh
Melihat kegiatan yang secara tidak disadari dapat dia lakukan dengan baik
Melihat kegiatan yang membuat dia puas bila melakukannya, merasa tidak ada beban, dan senang melakukannya
Melihat hobi, klub, atau lingkungan yang ingin dia masuki
Melihat nilai akademiknya, baik formal atau informal
Melihat kemampuan tehnis tertentu yang bisa dikuasinya dengan cepat dan bagus.

Itu semua adalah sifatnya adalah alat bantu. Seperti kita tahu, jikalau alat bantu itu berhasil kita gunakan dalam mengungkap bakat dan minatnya, bakat sendiri bukan satu-satunya faktor sukses (berprestasi). Sudah banyak anak yang menemukan bakatnya, namun tak bisa digunakan untuk berprestasi, baik di tempat kerja atau di sekolah.

Kalau melihat ke prinsip-prinsip dasarnya, setelah bakat itu ditemukan, manusia membutuhkan petunjuk yang disebut cita-cita atau tujuan hidup. Butuh juga motivasi yang kuat untuk mengasah bakat dan untuk memperjuangkan cita-citanya. Butuh juga relasi atau koneksi yang membimbing atau memberi dukungan. Butuh juga kompetensi atau kemampuan menggunakan pengetahuan, pengalaman dan keahlian dalam sebuah tugas. Butuh juga nilai-nilai yang memperkokoh jiwanya dan lakunya.

VISI-MOTIVASI-KOMPETENSI-RELASI-NILAI


Berhati-hati Membaca Nilai Akademik
Berpatokan pada nilai akademik itu bisa menyesatkan dan bisa pula mencerahkan, tergantung bagaimana kita membacanya. Misalnya anak kita mendapatkan nilai bahasa sangat bagus. Atas dasar itu, kita kemudian membuat judgment bahwa bakat anak kita itu di bahasa.

Akan mencerahkan kalau itu kita baca bahwa bakat anak kita yang sudah terungkap adalah bahasa, sementara yang lain-lain masih belum. Ini akan menghasilkan penilaian yang mendorong, membuka, dan memberdayakan. Siapa tahu dia punya bakat dan minat yang lebih dari itu? Tapi bila itu kita baca secara hitam-putih, biasanya penilaian yang muncul akan sangat cenderung membatasi.

Atau misalnya lagi kita melihat sebagian besar nilai akademik anak kita jeblok, dan bahkan kita sering menerima surat dari sekolah untuk membicarakan nilai anak kita. Atas dasar itu, kita membuat penghakiman bahwa anak kita sama sekali tidak memiliki kelebihan apa-apa. Padahal, penghakiman demikian sangat bertentangan dengan prinsip memanusiakan manusia dan menumbuhkan pribadi yang dewasa.